“Suatu hari, saat saya berlibur ke Jakarta”
Dari sudut sebuah gang, saya melihat dua orang laki-laki yang sepertinya sedang beradu argumen dan terlihat saling mencaci maki. Kemudian mereka saling mengeluarkan jurusnya masing-masing, sepertinya akan terjadi perkelahian. Saya pun kaget dan perlahan mendekat. Dengan langkah lambat, saya pun terus berjalan ke arah mereka. Saat kekhawatiran memuncak, sontak saya terkejut ketika mendapati banyak orang dengan pakaian rapi, membawa barang bawaan, sepasang ondel-ondel, serta sekumpulan pasukan tanjidor sedang melihat pertarungan tersebut. “Wah,ternyata ada acara pernikahan toh”.
Ya, pertarungan para jawara tersebut adalah tradisi palang pintu yang merupakan salahsatu budaya asli betawi saat pernikahan. Rombongan pengantin laki-laki diarak dengan iringan marawis menuju rumah pengantin wanita. Namun, sudah ada jawara kampung setempat yang menghadang dan memberikan rintangan. Jawara dari pihak pria harus mengalahkannya jika hendak masuk ke rumah pengantin wanita. Rintangan yang harus dihadapi adalah adu pantun, adu jurus dan adu ngaji (membaca Al-Quran). Tentu pertarungan tersebut bukan pertarungan sungguhan, para jawaranya pun sudah saling mengenal. Dan sudah pasti pemenangnya adalah jawara dari pengantin laki-laki. Kalau Jawara dari pengantin laki-laki kalah, nikahnya gak jadi dong :DNah, kita bisa menemukan tradisi tersebut di Perkampungan Budaya Betawi - Setu Babakan, yang berada di daerah Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Banyak alternatif jalur yang bisa kita lalui untuk menuju ke tempat ini, diantaranya melalui Jalan Moh Kahfi II (arah barat) dan Jalan Desa Putra (arah timur). Kawasan seluas kurang lebih 280 hektar ini meliputi pemukiman penduduk, Setu Babakan, Setu Mangga Bolong dan hutan kota yang dikelola secara terpadu. Saat kita memasuki wilayah ini, suasana Jakarta Tempoe Doeloe akan sangat terasa.
Nuansa budaya betawi di tempat ini begitu kental. Memasuki Perkampungan Budaya Betawi kita disambut dengan gapura bertuliskan “Pintu Masuk I Bang Pitung” yang selanjutnya kita akan dimanjakan dengan deretan rumah-rumah berarsitektur betawi. Di pusat kampung, terdapat sebuah panggung utama yang berfungsi sebagai tempat pentas seni musik, tari atau teater. Selain itu, banyak dijumpai aktivitas masyarakat seperti latihan pukul (beksi) dan ngederes (membaca Al-Quran). Sehingga budaya betawi asli sangat terlihat disini.
Selain itu, disini juga terdapat sebuah danau bernama Setu Babakan. Kita dapat merasakan suasana yang nyaman, angin semilir, udara yang segar dan jauh dari “hiruk pikuk”-nya Jakarta. Setu ini semula biasa digunakan warga sekitar untuk memancing, tapi sekarang Setu Babakan juga dijadikan sebagai tempat wisata. Tersedia perahu-perahu kecil dan alat-alat dayung bagi pengunjung untuk mengelilingi Setu. Namun disini pengunjung dilarang berenang, karena sudah banyak kejadian pengunjung yang tenggelam. Di sekeliling danau ditata jejeran bangku dan bale kayu untuk sekedar duduk menikmati keasrian danau dan sekitarnya. Kita juga bisa menikmati makanan khas Betawi seperti kerak telor, soto betawi hingga semur jengkol. Di tempat inilah, saya semakin merasakan enjoynya Jakarta.
Ancol, TMII, monas, taman menteng, kota tua atau ragunan mungkin tidak asing lagi di dengar, tak ragu lagi jika tempat-tempat tersebut menjadi destinasi favorite liburan di Jakarta. Namun jika Anda ingin merasakan Jakarta yang sesungguhnya, datanglah ke Setu Babakan karena It’s The Real Jakarta.